Kematian Tuhan?
Relevansi Tuhan dan Agama Dalam Kehidupan Sekarang

Alteria Lab
3 min readMar 31, 2021
©Anastasya/Alteria

God is dead. God remains dead” adalah salah satu kutipan dari filsuf jerman, Friedrich Nietzsche yang paling mudah diingat sekaligus kerap disalahartikan oleh masyarakat hingga sekarang ini. Secara kontekstual, Nietzsche mencoba menunjukkan bagaimana keadaan manusia yang sejak abad pencerahan telah secara konsekuen ‘membunuh’ Tuhan dengan perkembangan sains serta rasionalitas. Namun, apakah itu kenyataannya?

Agar dapat menjawab pertanyaan ini, kita perlu meninjau kembali peran Tuhan dan agama dalam kehidupan kita. Tuhan sendiri dilihat sebagai Omnipresence yang paling berkuasa di atas semesta. Umat manusia mungkin tidak dapat melihat atau mengerti keinginan Tuhan secara jelas, namun Ia hadir dan selalu mengawasi umatnya. Tuhan selalu mencoba menaruh sesuatu pada tempatnya, serta menjaga keseimbangan semesta. Gagasan ini kemudian mengkonstruksikan tujuan dari setiap makhluk, yakni untuk menyenangkan Tuhan dengan memenuhi perintahnya serta menjadi seseorang yang baik sesuai takaran agama masing-masing. Setiap agama pun mempunyai satu atau berbagai sosok Tuhan, serta kitab-kitab yang dijadikan fondasi dari sistem kepercayaan mereka. Beberapa kepercayaan itu tetap bertahan hingga hari ini, namun banyak juga yang telah dilupakan oleh sejarah mengikuti kehancuran peradabannya.

Walaupun awalnya Tuhan dan agama berfungsi sebagai landasan segala moral, etik, serta peradaban dunia, terdapat juga mereka yang menampik ide eksistensi serta tujuan keberadaan Tuhan. Kelompok ini bangkit bersama perkembangan sains dan teknologi, terutama pada Zaman Renaisans yang secara khusus memberontak terhadap Zaman Kegelapan (Dark Age) di Eropa, yaitu saat Gereja Katolik menguasai seluruh kontinen atas kehendak Tuhan. Dominasi institusi keagamaan terhadap negara dan rakyat menciptakan beberapa permasalahan yang mendorong individu untuk mempertanyakan eksistensi Tuhan dan agama. Filsuf-filsuf seperti Baruch Spinoza bahkan mencoba untuk merekonstruksikan ide mengenai Tuhan dan menolak agama sebagai cara untuk menjangkau-Nya, sedangkan Immanuel Kant mencoba “mendamaikan” agama dengan rasionalisme dalam tulisan-tulisannya.

Pada abad ke 19, bangkit salah satu mazhab ulung filsafat saat ini yakni eksistensialisme, yang beranjak dari tulisan-tulisan Kierkegaard. Ia memperkenalkan konsep absurditas hidup yang hanya dapat dihibur oleh ‘Leap of Faith’, dimana sebuah keputusan diambil untuk hanya mempercayai agama dan keinginan Tuhan. Namun di kemudian hari, filsuf-filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Martin Heidegger, dan Friedrich Nietzsche mendorong perkembangan eksistensialisme untuk mempertanyakan bahkan menolak konsepsi Tuhan. Tapi, apakah ini berarti Tuhan telah sepenuhnya mati?

Dari sudut pandang saya, Tuhan tidak pernah dan tidak akan pernah mati. Berkembangnya rasionalitas serta materialisme pada era modern tidak membunuh Tuhan, melainkan mengubahnya menjadi hal lain. Tuhan telah bertransformasi menjadi sistem politik perekonomian dunia yang tak terbendung dan menguasai takdir umat global. Elit dan politisi telah menjadi nabi dan juru bicara kebutuhan para Tuhan yang baru, dimana keinginan menjadi individu paling berkuasa merajalela.

Seperti yang dapat kita lihat sekarang, banyak yang memuji Tuhan-tuhan yang baru tanpa sepenuhnya menyadarinya. Saya sendiri harus menjelaskan bahwa hal tersebut tidak salah. Semua orang mempunyai kepercayaannya masing-masing dan tidak baik untuk menantang atau menghilangkan kepercayaan-kepercayaan tersebut. Lagipula, hidup merupakan keseluruhan dari pilihan kita; beberapa orang mungkin dapat menghadapi absurditas dunia, namun beberapa mungkin tidak dapat melakukannya sendirian. Hal terpenting adalah bertahan hidup dan setia pada apa yang kita percayai. Itulah salah satu definisi agama yang dapat saya katakan; untuk beriman.

Tulisan ini merupakan publikasi kolaboratif dengan abstractcolumn. Versi Bahasa Inggris tulisan ini dengan judul ‘Is God Dead? The Relevance of God and Religion in Today’s Life’ dapat diakses pada laman abstractcolumn pada tautan berikut https://abstractcolumn.com

Penulis: Dicky Harvana

Penerjemah: Kezia Simanjuntak

Penyunting: Cokorda Savita

--

--