Menavigasi Dunia Kerja; Refleksi Seorang Pemuda Transisi

Alteria Lab
3 min readJun 18, 2021
©Rainhard/Alteria

Pemaknaan kerja bagi tiap individu berbeda, namun ada satu muara yang sama yaitu mendapatkan uang untuk pemenuhan kebutuhan. Sayangnya, jika tujuan akhir dari sebuah kerja hanya itu saja, maka kerja hanya dimaknai sebagai suatu aktivitas yang bergulir tanpa arah dan dapat dieksploitasi dengan mudah. Seringkali kita menganggap bahwa pekerjaan yang terjamin adalah segalanya dan mengabaikan proses pembelajaran yang didapatkan dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. Padahal apabila kita mau belajar, tidak hanya uang saja yang didapatkan melainkan keterampilan, yang jika mau, dapat menghasilkan nominal uang lebih besar.

Ironisnya di Indonesia kebanyakan usia produktif (pemuda) tidak punya stepping-career yang jelas. Mereka bersekolah bertahun-tahun dengan berharap ada pekerjaan yang melamarnya dengan gaji yang besar, tanpa mengetahui cara kerja uang; yang sebenarnya perihal seberapa banyak yang disimpan bukan seberapa banyak yang dihasilkan. Sebab misal mengacu pada besaran penghasilan atau gaji, namun tetap harus banyak membayar tagihan itu sama saja mengeksploitasi diri yang dianggap sebagai kepasrahan yang harus ‘disyukuri sajalah’. Pada akhirnya stepping-career yang kurang jelas tersebut, bergabung dengan kepasrahan yang ada sehingga berujung pada ketidakjelasan dalam pemilihan karir.

Bagaimana seseorang membuat pilihan karir dan pekerjaan sedari dini digambarkan melalui teori perkembangan (developmental theory) Ginzberg (Santrock,1995). Menurut Ginzberg, individu melalui tiga fase pemilihan karir, yaitu; fantasi, tentatif dan realistik. Fase fantasi adalah fase yang ditunjukkan dimana anak-anak ketika ditanya soal karirnya nanti dan dijawabnya dengan begitu saja, contoh “jadi dokter”, “pahlawan”, “bintang film” dll. Fase tentatif merupakan fase transisi antara fantasi dan realistik (berubah yang tidak jelas). Pada fase realistik, individu mengeksplorasi lebih luas karir yang ada kemudian memfokuskan diri pada karir tertentu dan akhirnya memilih pekerjaan tertentu.

Pada realitanya tahapan terakhir menjadi begitu sulit, dibutuhkan akses terhadap infrastruktur pekerjaan yang terbuka selebar-lebarnya tanpa ada campur tangan modal ekonomi yang cenderung sudah dimiliki orang tertentu dan terstruktur dari sedia kala. Karena yang terjadi, sekarang modal ekonomi masih memiliki andil cukup besar untuk memfokuskan seseorang menjadi apa kedepannya. Sehingga tidak bisa berlaku secara umum antar perorangan, melainkan kembali pada faktor kelas sosial, prestise dan privilege yang dimilikinya. Perjalanan menuju ke dunia pekerjaan yang tidak mudah itu disebut oleh Nilan (2007) sebagai zigzag journey. Melalui kalimatnya ia mengatakan “The process of youth transition at the current time is usually not straightforward but can be described as a long zigzag” (Nilan, Julian, dan Germoy 2007:86). Ketika proses perjalanan panjang “zigzag journey” itu berlangsung, bukan hanya proses fisik yang terbentur-bentur karena berliku-likunya ‘jalan’ tetapi juga pikiran yang terbentuk atas konstruksi tentang uang adalah segalanya yang hanya didapatkan melalui kerja.

Oleh karenanya dalam bekerja kita juga harus tahu bagaimana membuat uang bekerja bagi kita. Agar tidak ada lelah dalam pekerjaan, disinilah makna dan tujuan kerja menjadi penting. Setidaknya ada hal yang bermanfaat bagi orang di sekitar kita dan tidak menilai berdasarkan prestise semata. Terkadang kita tergiring dengan wacana pekerjaan ini lebih baik atau justru buruk dibanding ini itu hanya karena nilai material, jabatan atau bahkan sudut pandang dari luarnya saja. Sederhananya, kalau pemaknaan kerja hanya karena alasan yang telah disebutkan dan sebatas merujuk pada berkegiatan di korporasi atau instansi serta sejenisnya, apa tidak kasihan pada petani yang tidak dianggap kerja? Padahal apapun pekerjaannya itu turut mengurangi angka pengangguran. Jika kita mengingat dan menyoal isu ketenagakerjaan di Indonesia sendiri masih carut-marut, terutama dalam hal memberantas pengangguran yang sering distigma sebagai ‘beban keluarga’.

Salah satu penyebab pengangguran di Indonesia yang sudah sempat disinggung sebelumnya, adalah stepping-career yang belum jelas, karena tidak dikonstruksikan lewat pendidikan atau organisasi lainnya jauh sebelum masa untuk bekerja tiba. Alhasil pemuda Indonesia biasanya ‘autopilot’ — keadaan kognitif dimana bertindak tanpa kesadaran diri — , tiba-tiba bekerja di bidang ini atau itu. Harapannya kita sadar tentangnya, bukan terpaksa atau sukarela. Persoalan stepping-career yang belum jelas itu dikarenakan sejak kecil kita tidak dikonstruksi tentang ‘cita-cita apa yang ingin kita capai dan bagaimana cara mendapatkannya’. Kita kemudian baru sadar ketika sudah lulus dari bangku sekolah formal, sudah bergaul luas, berorganisasi dan lain-lain. Lantas setelah itu kita baru menyadari ‘oh, ternyata saya harus menguasai keahlian untuk bisa presentasi misalnya, atau harus bisa bahasa inggris, bisa ini itu dan sebagainya’ untuk sebatas dapat survive ke depan.

Penulis: Imelda Idamayanti

Penyunting: Kezia Simanjuntak

Referensi:

Jhon W.Santrock. 1995. Life Span Development; Perkembangan Masa Hidup (edisi kelima; jilid 2). Jakarta: Erlangga

Nilan, Pamela, Roberta Julian dan John Germov. 2007. Australian Youth: Social and Cultural Issues. Australia: Pearson Education

--

--