Menjadi Religius

Alteria Lab
3 min readMar 31, 2021
©Anastasya/Alteria
©Anastasya/Alteria

“Aku tuh pengen jadi sosok yang religius”, Cerita saya pada salah seorang teman. Mendengar hal itu teman saya tampak mengernyitkan kedua alis dan dahinya. Sebuah pertanda yang menunjukkan bahwa Ia agaknya meragukan pernyataan saya tadi. Ia ragu dengan keinginan saya, sebab baginya menjadi religius sama halnya dengan menjadi suatu sosok yang menakutkan. Bagaimana tidak? Seseorang yang memilih untuk hidup semakin religius biasanya juga memilih untuk mengubah diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. Mereka biasanya memilih juga untuk memisahkan diri dari teman-teman lama yang dianggapnya tidak sesuai dengan keyakinannya yang baru. Lagi, religiusitas acapkali “berbicara” maupun “membicarakan” hal-hal membosankan yang kerap bergandengan tangan seperti: etika dan moral, baik dan buruk, sesuai atau tidak sesuai dengan perintah Tuhan.

Berubah

Layaknya Power Ranger yang berubah bentuk–hingga mungkin orang akan lupa dengan bentuk semulanya, maka menjadi religius itu sama halnya dengan melakukan suatu perubahan yang signifikan. Diri yang lama dianggapnya sebagai suatu hal yang tidak baik. Demi mengejar apa yang dilabeli “baik” dan “benar”, seseorang harus berubah dan meninggalkan kehidupan lamanya sesegera mungkin. Sebagai bagian dari label yang “tidak benar”, maka saya agaknya mafhum dengan ketakutan teman saya itu. Ia takut kalau perubahan diri saya akan mempengaruhi hubungan pertemanan kami.

Pertemanan yang sebelumnya adalah pertemanan haha-hihi, dimana kami bebas membicarakan apapun termasuk membicarakan suatu hal yang tabu dan sifatnya pribadi. Dalam lingkaran pertemanan kami, tidak ada obrolan yang dianggap kotor, berdosa, atau dilabeli negatif. Sebab kategori kotor, berdosa, lagi tidak baik itu tergantung dari bagaimana cara kita memandangnya. Semua pengalaman, entah orang melabeli sebagai pengalaman yang baik atau pengalaman buruk, pada akhirnya akan memperkaya pengalaman dan pandangan kami.

Jelasnya, jika saya menjadi seorang religius maka lingkaran itu bukan lagi menjadi zona aman. Akan tetapi berubah menjadi zona ketidakamanan. Mungkin juga dalam benak teman saya, saya akan berubah layaknya seorang polisi siber yang bertugas mengawasi setiap obrolan. Polisi akan memberikan kartu kuning jikalau obrolan kami agak keluar dari “batas-batas” nilai dan norma agama. Akhirnya juga, hubungan pertemanan kami bukan lagi menjadi suatu hubungan yang setara dalam keunikan masing-masing. Akan tetapi, menjadi suatu hubungan yang penuh dengan ketimpangan. Tentunya saya akan berada dalam posisi yang paling tinggi dalam relasi tersebut. Sebab sayalah sosok yang paling religius di antara teman-teman saya.

Saya juga akan melihat teman sebagai “obyek misi” yang patut untuk didakwahi dan diberikan penyegaran rohani. Dengan dalih “sekadar mengingatkan”, orang religius tidak ingin membiarkan temannya tersesat terlalu jauh. Sudah selayaknya dan sepantasnya, sebagai teman yang arif saya mengingatkan mereka agar selalu dalam “kebaikan”. Tentu yang disebut baik di sini adalah baik versi saya. Saya pun juga yakin bahwa baik versi saya adalah baik juga menurut Tuhan. Saya ini ‘kan orang yang sudah bertaubat, atau dalam bahasa religiusnya saya adalah orang yang sudah menanggalkan kehidupan lama dan bertolak ke tempat yang lebih dalam. Sedangkan mereka, teman-teman saya itu, masih dalam tempat yang cetek. Mereka tidak bisa membedakan mana roh jahat dan mana yang roh yang baik.

Terbaik

Intinya, dalam imaji teman saya religiusitas selalu beriringan dengan hal yang sifatnya dogmatis lagi teologis. Saya yang dulu bukanlah saya yang kini menjadi religius. Apa yang keluar dari mulut saya bukan lagi kata-kata yang penuh dengan kejulidan. Sebab orang yang religius itu hanya akan mengeluarkan kata-kata yang baik. Perbincangan orang yang religius itu ‘kan perkara sabda Tuhan yang tidak bisa diperdebatkan. Orang religius melihat agama sebagai suatu bangunan yang telah mapan. Suatu bangunan yang sudah tidak bisa dilihat lagi mana kurangnya, mana salahnya, mana celanya, dan mana yang perlu ditambal. Padahal yang sempurna itu hanya Tuhan semata, sedangkan institusi agama jauh dari kesempurnaan.

Tentu saja saya hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal membayangkan ketakutan teman saya itu. Sebab, bayangan teman saya berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Saya ingin lebih religius, tetapi religiusitas menurut saya tampaknya agak berbeda dari religiusitas orang-orang pada umumnya. Saya ingin menjadi religius sesuai versi terbaik saya. Tiap orang memiliki standar dan parameter religiusitasnya masing-masing. Demikian pula dengan saya, yang berusaha membangun versi religius menurut standar dan parameter pribadi saya. Jelasnya, menurut saya menjadi religius itu justru semakin menjadi inklusif, semakin tidak membeda-bedakan, dan luarannya bisa diterima dalam lingkungan apa saja. Kalau hanya diterima dalam lingkungan yang itu-itu saja, bagi saya hal itu bukanlah suatu hal yang religius. Demikian singkatnya, panjangnya tentu saya tidak bisa menuliskannya di sini. Tabik.

Penulis: Arif Budi Darmawan

Penyunting: Cokorda Savita, Kezia Simanjuntak

--

--