Proses Ritual Keagamaan Dalam Masa-Masa Pandemi

Alteria Lab
4 min readApr 1, 2021
©Anastasya/Alteria

Kita telah melewati masa-masa pandemi selama lebih dari setahun lamanya. Seluruh kegiatan sehari-hari kita mendadak harus banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan, terutama aktivitas di luar rumah. Hal ini secara khusus terjadi bagi umat beragama di Indonesia dalam melaksanakan praktik beribadah. Perihal beribadah, kegiatan berjamaah merupakan hal yang sangat penting bagi umat beragama. Selama proses tersebut, beribadah secara bersama atau berjamaah merupakan bentuk yang seringkali didahulukan. Hal tersebut perlu dibatasi menurut pemerintah dikarenakan kegiatan massal di luar rumah dapat beresiko menjadi tempat penyebaran virus Covid-19. Lantas, bagaimana umat beragama melaksanakan kegiatan beribadah selama pandemi di Indonesia?

Dalam agama Islam, terdapat kegiatan berjamaah seperti sholat lima waktu di masjid, sholat jumat yang merupakan hal wajib bagi pria, sholat ied ketika hari raya idul fitri, dan kegiatan lainnya seperti pengajian. Selama masa pandemi, terutama pada awal masuknya wabah korona di Indonesia, aktivitas keagamaan tersebut sangat dibatasi oleh pemerintah. Alhasil aktivitas-aktivitas tersebut untuk sementara tidak dilakukan atau dilakukan dengan alternatif yang ada. Majelis Ulama Indonesia sebagai majelis yang dipercayai oleh sebagian umat Islam dalam tata syarat keagamaan memberikan fatwa dan aturan kegiatan beribadah selama masa pandemi. Beberapa diantaranya adalah, bagaimana sholat jumat diganti dengan sholat dzuhur, sholat ied ketika idul fitri yang tidak diwajibkan atau dengan protokol kesehatan yang ketat¹, dan sejumlah kegiatan agama yang dilakukan secara daring. Hal tersebut menjadi sangat penting bagi pemerintah dalam usaha menekan penyebaran virus Covid-19.

Selama masa pandemi, kegiatan beribadah pemeluk Kristen dan Katolik di gereja juga sangat dibatasi oleh pemerintah demi mencegah penyebaran wabah. Proses ibadah seperti kebaktian pada awal pandemi dihimbau dilakukan secara daring melalui media yang ada sesuai ketentuan masing-masing jamaat. Hal tersebut kemudian juga berlaku dalam ibadah perihal perayaan hari besar, di mana aktivitas beribadah daring menjadi alternatif proses peribadatan. Selain itu, konsep gereja rumah juga digunakan dalam prosesi ibadah umat Kristen, dikarenakan rumah sebagai unit sosial, ekonomi, dan religius².

Perisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis umat Hindu di Indonesia turut menjadi patron bagi pemerintah dalam upaya pengendalian penyebaran virus³. Himbauan PHDI dalam rangka menekan penyebaran adalah dengan menghimbau umat hindu untuk melaksanakan ibadah di rumah masing-masing. Hal tersebut kemudian memberikan kompensasi dalam perihal agama dengan pemaknaan demi kepentingan yang lebih besar bagi umat, yaitu pandemi.

Sementara itu umat Buddha selama pandemi juga harus melakukan kegiatan keagamaannya secara daring di rumah. Pada Puja Bakti Waisak 2564, ibadah Puja Bakti Waisak dilakukan secara live streaming melalui media daring. Tema yang relevan juga diambil pada Puja Bakti Waisak di Vihara Dhanagun Suryakencana Kota Bogor, yang bertemakan ‘Mawas Diri dan Toleransi dalam Menjaga Keharmonisan Bangsa Selama Pandemi’⁴. Prosesi Puja Bakti secara langsung hanya dapat diikuti oleh 10 persen dari jumlah jemaat, serta diikuti dengan pelaksanaan protokol kesehatan.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) sebagai majelis agama umat Khonghucu juga memberikan instruksi terkait pembatasan aktivitas keagamaan dalam masa pandemi⁵. Sejak awal pandemi, MATAKIN menginstruksikan seluruh umat Konghucu di Indonesia untuk melaksanakan prosesi ibadah harian ataupun hari raya seperti imlek secara daring di rumah masing-masing, disertai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Selama masa pandemi umat Konghucu diharap dapat mengambil makna bahwa umat harus dapat menyesuaikan diri dengan alam dan keadaan. Selain itu, alternatif yang ada dilihat tidak mengurangi pahala ataupun iman dari umatnya, karena yang terpenting dalam beriman adalah hati, di mana merawat dan menjaga tubuh, serta keselamatan adalah bagian dari Laku Bakti⁶.

Ibadah yang kita yakini sebagai suatu ritual suci merupakan kewajiban bagi para penganutnya untuk dilaksanakan. Permasalahan pro dan kontra beribadah di kala pandemi kemudian membawa kita untuk berpikir kembali terkait intensi kita untuk beribadah. Apakah kita ibadah hanya untuk memenuhi kuantifikasi kegiatan yang telah kita lakukan, atau memaknai ibadah itu sendiri dapat disesuaikan demi kepentingan yang lebih besar tanpa mengurangi nilai spiritualnya? Penyesuaian dalam aktivitas keagamaan berlaku untuk seluruh umat beragama di Indonesia, tanpa terkecuali bagi penganut kepercayaan yang belum diakui oleh negara, maupun penganut aliran kepercayaan penghayat. Kompromi yang ada bermaksud untuk memahami hikmah bahwa improvisasi ibadah tidak serta merta menghilangkan pahala, namun yang terpenting adalah niat dan hati dari umatnya. Kesepakatan lembaga majelis agama di Indonesia juga kian mendasari dan meyakini bahwa ibadah dalam hakikatnya dapat disesuaikan tanpa mengurangi keimanan para penganutnya. Di mana meniatkan diri untuk menjaga satu sama lain menjadi aspek yang sangat penting dalam beribadah di tengah pandemi.

Penulis: Fadhil Naufal

Penyunting: Cokorda Savita, Kezia Simanjuntak

[1] https://nasional.kompas.com/read/2020/07/30/15074561/ini-imbauan-pemerintah-soal-shalat-idul-adha-di-saat-pandemi-covid-19

[2] Djeffry Hidajat, “Gereja Di Rumah: Kontekstualisasi Fungsi-Fungsi Rumah Dalam Masa Perjanjian Baru Untuk Pekabaran Injil,” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan (2018).

[3]https://nasional.kompas.com/read/2020/03/28/15343921/ada-pandemi-covid-19-phdi-imbau-umat-hindu-tak-sembahyang-bersama

[4] https://tirto.id/merayakan-waisak-di-tengah-pandemi-covid-19-fni3

[5]https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/umat-konghucu-indonesia-rayakan-imlek-tahun-ini-secara-virtual/

[6]ibid

--

--